Rusuh
di mana-mana. Demonstrasi pun merebak di mana-mana. Itulah situasi yang
mewarnai perjalanan awal sebuah reformasi. Sebuah situasi yang secara
sengaja diskenario untuk membuahkan pergantian kekuasaan. Berbagai
elemen masyarakat digerakkan. Media massa dihasung untuk menyulut
situasi yang dikehendaki. Mahasiswa digerakkan untuk aksi turun ke jalan
seraya menggaungkan agenda reformasi. Masyarakat,
dengan berbagai strata, terus-menerus dicekoki dengan
informasi-informasi yang membuka aib penguasa. Terjadilah sebuah situasi
yang panas bergejolak. Tekanan demi tekanan terus dilancarkan guna
menggoyang kekuasaan yang ada.
Pola-pola semacam ini tak semata
berlangsung di Indonesia. Tidak hanya saat reformasi diletupkan guna
menggusur Orde Baru. Saat Orde Lama tumbang, pola yang nyaris sama pun
dilakukan. Masih lekat dalam benak sejarah, mahasiswa turun ke jalan,
bentrok dengan aparat, lalu ada yang tertembak mati, setelah itu
tersulutlah amarah massa. Situasi menjadi chaos, rusuh bergejolak. Suhu
politik semakin meninggi. Banyak elite politik bermain guna mendapatkan
bola liar yang tengah bergulir. Keadaan semacam itu nyaris sama terjadi
tatkala Orde Baru hendak dilengserkan. Tidak cuma di Indonesia, di
beberapa negara pun situasinya didesain hampir serupa. Sebut saja
seperti di Filipina atau beberapa negara lainnya.
Aksi demonstrasi
yang didengung-dengungkan setiap hari di berbagai kota besar di
Indonesia menjelang surutnya kekuasaan Orde Baru kian mendekati titik
membara. Banyak elemen masyarakat yang tak bisa mengendalikan emosi dan
berpikir rasional. Di Medan, mahasiswa hampir setiap hari berunjuk rasa.
Bahkan, situasi semakin melebar hingga mampu memengaruhi sebagian
masyarakat. Masyarakat Medan pun telanjur tak terkendali dan mulai
berbuat onar. Medan menjadi kota besar pertama yang yang menjadi korban
kerusuhan kerusuhan. Antara 4—7 Mei 1998 terjadi pembakaran, perusakan,
penjarahan toko-toko, pasar, dan kendaraan. Kerusuhan ini menjalar ke
beberapa kota seputar Medan. Di Yogyakarta pada 5 Mei 1998 terjadi
rusuh. Ini merupakan aksi mencekam terkait reformasi, sama seperti di
Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mahasiswa bentrok dengan
aparat. Perusakan dan pembakaran terjadi mulai siang hingga malam hari.
Kerusuhan kedua terjadi 8 Mei 1998. Kerusuhan kedua di Yogyakarta ini
berskala lebih besar daripada kerusuhan 5 Mei 1998. Di Jakarta tanggal
12 Mei 1998 ribuan mahasiswa turun ke jalan, demo. Mereka menuntut
penguasa lengser dari kursi jabatannya. Sore hari, keadaan makin
memburuk. Empat mahasiswa terbunuh. Puluhan lainnya, terdiri dari
masyarakat dan mahasiswa, mengalami luka-luka. Hingga tanggal 15 Mei
1998, di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia mengalami situasi
yang sama: rusuh! Keadaan pun makin tak terkendali. Ribuan bangunan
milik masyarakat, aset negara, toko, dan kendaraan, hancur-lebur dirusak
dan dibakar massa.
Sebelum mahasiswa secara sporadis melakukan
aksi-aksi demonstrasi menuntut penguasa turun, muncul sosok tokoh yang
senantiasa membuka aib penguasa di depan masyarakat umum. Selain melalui
tulisan-tulisannya di media massa, sosok tokoh ini pun aktif memompa
masyarakat untuk memusuhi penguasanya melalu acara-acara “pengajian”.
Statusnya sebagai pembesar salah satu ormas terbesar di Indonesia
memungkinkannya untuk leluasa menggalang massa. Ceramah-ceramahnya di
hadapan massa selalu berkutat masalah aib-aib penguasa dan berupaya
mengajak masyarakat mendongkel sang penguasa. Sosok tokoh ini pun
memiliki rencana besar untuk mempercepat penggulingan kekuasaan. Pada 20
Mei 1998, dia berencana mengarahkan sejuta massa ke Lapangan Monas di
seberang Istana Negara, meskipun akhirnya rencana ini dibatalkan.
Tekanan untuk melengserkan penguasa pun tak hanya di situ. Melalui
berbagai tokoh “cendekia” lainnya, saran-saran untuk meletakkan jabatan
pun disampaikan. Beberapa tokoh “cendekia” sempat mendatangi Istana guna
meminta penguasa agar bersedia mengundurkan diri. Akhirnya, pada
tanggal 20 Mei 1998, sekitar pukul 22.15 WIB, Presiden Republik
Indonesia pada waktu itu memutuskan untuk berhenti sebagai presiden.
“Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan.
Tetapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan
ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan
darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai presiden,
menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945,” demikian pernyataan
Presiden. (Soeharto, Biografi Singkat, 1921—2008, Taufik Adi Susilo,
hlm. 111)
Setelah pergantian kepemimpinan negara terjadi, apakah
situasi negara semakin stabil? Walau kepemimpinan negara telah berpindah
tangan, ternyata sebagian masyarakat tidak mau menerima keadaan seperti
itu. Pemimpin baru pun terus dipermasalahkan. Diungkit aib-aibnya di
hadapan masyarakat luas. Melalui beberapa media, disemburkan bibit-bibit
kebencian terhadap penguasa. Masyarakat diasupi informasi-informasi
yang memicu permusuhan terhadap pemimpinnya. Rakyat dihasung untuk
menolak dan mendongkel penguasa baru. Keadaan ini terus berlanjut.
Masyarakat pun akhirnya sulit mendapatkan rasa aman dan nyaman hidup di
Indonesia. Ini semua akibat ulah para provokator yang senantiasa
bersikap antipati terhadap penguasa. Kehidupan bermasyarakat selalu
diwarnai aksi unjuk rasa. Membuka sisi negatif kehidupan penguasa
merupakan santapan sehari-hari. Sebuah pendidikan sosial politik yang
sangat buruk bagi masyarakat. Masyarakat senantiasa diajari untuk selalu
berkonflik, membuka jurang antara penguasa dan rakyatnya, serta dididik
untuk selalu curiga. Sebuah potret kehidupan yang sangat sarat
ketidaknyamanan. Sebuah struktur masyarakat yang sangat rentan terhadap
berbagai konflik dan penyakit sosial lainnya. Tak mengherankan jika
kemudian masyarakat sangat mudah dipicu untuk berbuat onar, rusuh,
beringas, dan sadistis. Kerusuhan pun mewarnai kehidupan bangsa yang
dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah. Terjadi pembantaian terhadap
kaum muslimin di Poso, Ambon, Maluku Utara dan tempat lainnya. Timbulnya
keresahan masyarakat Aceh juga akibat aksi-aksi separatisme pada masa
itu. Semua peristiwa itu mengguratkan kehidupan yang kelam dan
memilukan. Ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi setelah
ide-ide reformasi digaungkan.
“Jikalau penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)
Upaya suksesi, penggulingan kekuasaan, atau sikap anti terhadap
penguasa melalui cara-cara pengerahan massa, sebenarnya pernah dilakukan
tokoh Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ semasa pemerintahan ‘Utsman bin
‘Affan z. Abdullah bin Saba’ yang menampilkan diri secara lahiriah
sebagai seorang muslim namun dalam batinnya menyimpan kekufuran, secara
intensif berupaya mengembuskan api permusuhan terhadap pemerintah.
Masyarakat Mesir sempat terprovokasi sehingga mereka melakukan
pergerakan menentang pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z. Puncak dari aksi
provokasi yang didalangi Yahudi ini adalah terjadinya pengepungan
(melalui aksi demonstrasi) terhadap kediaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
z. Akibat aksi pergerakan massa tersebut, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z
terbunuh. (Lihat Majalah Asy-Syariah edisi 32 dan 57)
Asy-Syaikh
Shalih bin Fauzan hafizhahullah pernah ditanya berkenaan dengan aksi
demonstrasi. Apakah aksi demonstrasi ini merupakan cara yang
diperkenankan dalam agama?
Beliau hafizhahullah menjelaskan bahwa
Islam bukan agama yang tidak memiliki aturan. Bukan agama yang kacau tak
beraturan. Islam adalah agama yang tenang. Demonstrasi atau unjuk rasa
tidak termasuk perbuatan kaum muslimin. Islam adalah agama yang tenang
dan penuh rahmat. Tidak mengajarkan kekacauan, mengembuskan
berita-berita tak benar dan fitnah. Demonstrasi adalah aksi yang bisa
menimbulkan fitnah yang besar, mendorong pertumpahan darah, dan
menghancurkan harta benda. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh
melakukan hal-hal di atas. Bahkan, apabila umat dalam keadaan ditekan
pihak penguasa sekalipun, hendaknya bersabar. Kemudaratan tidak bisa
disingkirkan dengan hal-hal yang menimbulkan mudarat (yang lebih besar).
Apabila terjadi kemudaratan atau kemungkaran, hendaklah tidak
disingkirkan dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi. Yang demikian
tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, akan menambah keadaan menjadi
semakin buruk. Karena itu, serahkanlah keadaan kepada yang bertanggung
jawab menangani dan berikanlah nasihat kepada mereka. Jika keadaan tetap
belum berubah, wajib bersabar sebagai bentuk pencegahan dari mudarat
yang lebih besar. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 232 dan 235)
Bagaimana cara memberi nasihat yang sesuai syariat terhadap penguasa?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa
menasihati penguasa bisa melalui beberapa cara. Diantaranya mendoakan
mereka agar tetap dalam keadaan baik dan istiqamah (di atas agama dan
kebenaran). Sesungguhnya, mendoakan kebaikan bagi penguasa muslimin
termasuk ketentuan syariat. Terutama, mendoakan mereka pada saat-saat
dikabulkannya doa dan di tempat-tempat yang diharapkan terkabulkan.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata:
لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ
“Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami
tujukan doa tersebut bagi penguasa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 28/391)
Bila
penguasa tersebut baik, niscaya akan membawa kebaikan kepada rakyatnya.
Jika penguasa tersebut rusak, niscaya kerusakan yang melekat padanya
akan berpengaruh pada rakyat. Termasuk menasihati penguasa adalah
melaksanakan sistem kerja yang digariskannya terhadap para pegawai atau
aparaturnya. Selain itu, hendaknya pula memberitahu pihak penguasa bila
terjadi kesalahan atau kemungkaran di masyarakat. Sebab, terkadang pihak
penguasa beserta jajarannya tidak mengetahui bahwa telah terjadi
kesalahan atau kemungkaran. Namun harus diingat, saat memberitahu
perihal tersebut hendaknya dengan cara sembunyi-sembunyi. Cukup antara
orang yang menasihati dengan pihak penguasa saja. Jangan sekali-kali
menasihati penguasa di hadapan orang banyak secara transparan dan
vulgar, atau melakukannya di atas mimbar (media umum). Ini bisa memberi
pengaruh yang tidak baik, bahkan akan menimbulkan kejelekan, yaitu
menimbulkan jurang permusuhan antara penguasa dan rakyatnya. Perlu
diingat pula, bukanlah nasihat apabila dilakukan dengan cara mengkritik
penguasa di atas mimbar, menyebutkan kesalahan-kesalahan penguasa di
media umum (mimbar) sehingga diketahui orang banyak. Aksi semacam ini
tidak akan membantu menciptakan kemaslahatan pada masyarakat. Bahkan,
bisa menimbulkan keburukan yang seburuk-buruknya.
Sesungguhnya,
menasihati penguasa bisa melalui dengan menyampaikannya secara pribadi,
bisa pula menyampaikannya melalui surat, atau melalui orang-orang
kepercayaan yang biasa berhubungan dengan penguasa tersebut, sehingga
nasihat yang disampaikan bisa diterima dengan baik. Bukanlah nasihat
terhadap penguasa bila seseorang menuliskan nasihatnya lantas disebar
kepada orang banyak. Yang seperti ini bukan nasihat, tetapi fadhihah
(menyebarkan kesalahan orang lain kepada masyarakat atau orang banyak).
Ini perlu dipertimbangkan matang, sebab bisa menjadi penyebab timbulnya
kejelekan, sukacita musuh (Islam), dan menyusupnya para pengikut hawa
nafsu ke dalam urusan tersebut. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 161—163)
Di dalam kitab Syarhus Sunnah, Al-Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari t mengatakan:
وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ
صَاحِبُ هَوًى، وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو لِلسُّلْطَانِ
بِالصَّلَاحِ
فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، إِنْ شَاءَ اللهُ
“Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap
penguasa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu pengikut hawa nafsu.
Bila engkau melihat seseorang mendoakan penguasa dengan kebaikan,
ketahuilah sesungguhnya dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.”
(hlm. 116)
Seluruh bimbingan para ulama salaf di atas, tentang cara
menasihati dan menyampaikan aspirasi terhadap penguasa, bersendi pada
apa yang telah disampaikan Rasulullah n. Dalam sebuah hadits dari
Syuraih bin ‘Ubaid z dan selainnya, Rasulullah n bersabda:
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً
وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِن قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ
وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin
menasihati penguasa karena satu hal, janganlah dia menerangkannya secara
terbuka (di depan masyarakat). Akan tetapi, hendaklah dia mengambil
tangannya, lalu (berbicara berdua dengan penguasa itu. Jika penguasa
menerima (nasihat itu), itulah (yang diharapkan). Jika penguasa itu
tidak mau menerima nasihat, sungguh ia telah menyampaikan kewajibannya.”
(HR. Ahmad, Majma’ Az-Zawa’id no. 9161. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhriji As-Sunnah, no.
1096)
Sudah semestinya seorang muslim memuliakan penguasanya. Tidak
mencela apalagi merendahkannya di hadapan publik. Tidak pula menjatuhkan
kehormatannya walaupun untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Al-Imam
At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits (no. 2224) dari Ziyad
bin Kusaib Al-’Adawi yang bertutur: “Aku pernah bersama Abu Bakrah z
(seorang sahabat Nabi n, -red.) di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang
berkhutbah dan mengenakan pakaian tipis. Tiba-tiba, Abu Bilal (Mirdas
bin Udayyah, seorang tokoh Khawarij) mengkritik seraya berkata:
‘Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan pakaian orang-orang fasik.’ Abu
Bakrah z lantas angkat bicara, ‘Diam kamu! Aku telah mendengar
Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang merendahkan (menghina) penguasa Allah di muka bumi,
pasti Allah l akan merendahkan dirinya.” (Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah
no. 2296)
Seorang muslim dituntun oleh agama Islam yang mulia ini
untuk bersikap mendengar, taat, dan patuh kepada penguasanya, walaupun
penguasa tersebut bertindak zalim. Barangsiapa keluar (dari ketaatan)
terhadap salah seorang imam (pemimpin) kaum muslimin, dia seorang
khariji (berpemahaman Khawarij). Sungguh dia telah memecah-belah
persatuan kaum muslimin dan menyelisihi As-Sunnah. Jika dia mati, mati
dalam keadaan jahiliah. Tidak halal memerangi penguasa dan keluar (dari
ketaatan) kepadanya meskipun penguasa tersebut bertindak lalim.
Rasulullah n pernah berkata kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari z:
اصْبِرْ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Bersabarlah, meskipun (yang memerintahmu) seorang budak Habasyi.”
Juga sabda Rasulullah n terhadap kaum Anshar:
اصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
“Bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di al-haudh (telaga).”
Oleh karena itu, memerangi (menentang) penguasa bukanlah bimbingan
As-Sunnah, karena penentangan (sikap memerangi) penguasa akan
menimbulkan kerusakan agama dan dunia. (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam
Al-Barbahari, hlm. 78)
Islam membimbing pula, apabila proses
penetapan penguasa tersebut menyelisihi apa yang telah ditentukan dalam
syariat (semisal demokrasi atau kudeta) maka kewajiban terhadap pemimpin
yang berkuasa tersebut tidak lantas dicabut. Kewajiban untuk mendengar,
taat, dan patuh tetap berlaku selama yang diperintahkannya adalah hal
yang ma’ruf. Adapun dalam hal maksiat, tidak wajib menaatinya. Al-Imam
Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud pernah ditanya, “Apakah sah seorang
imam yang bukan dari kalangan Quraisy?” Jawab beliau t, “Hal tersebut
merupakan pendapat mayoritas ulama, yaitu tidaklah sah pemimpin selain
dari Quraisy apabila yang demikian ini memungkinkan. Adapun bila tidak
memungkinkan, sementara umat telah bersepakat untuk tetap membai’at imam
(yang bukan dari Quraisy), atau ahlul halli wal ‘aqdi menyetujuinya,
mengesahkan keimamannya dan mewajibkan untuk membai’atnya, tidak boleh
melakukan penentangan terhadapnya. Ini adalah pendapat yang benar
berdasarkan hadits-hadits shahih, seperti sabda Rasulullah n:
عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Kalian wajib mendengar dan taat, meskipun yang memerintah kalian
adalah seorang budak Habasyi.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 9/5—7, dinukil
dari Al-Jama’ah wal Imamah, Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim
Bazmul, hlm. 82)
Dampak reformasi bagi masyarakat adalah terbukanya
kran kebebasan. Masyarakat dihasung untuk berani menyampaikan
aspirasinya. Di sisi lain, mentalitas masyarakat belum siap memaknai
kebebasan yang ada. Reformasi telah mengantarkan kehidupan bermasyarakat
pada taraf tidak memedulikan lagi norma-norma dalam menyikapi penguasa.
Apa yang diperoleh dari sebuah proses reformasi, yaitu mengajari
masyarakat untuk kritis, merendahkan, melecehkan, dan mencaci-maki
penguasa yang tak sejalan dengan pemikiran para “reformis”, adalah
sebuah situasi yang sangat memilukan. Reformasi telah mencampakkan
nilai-nilai Islam dalam hal menyikapi penguasa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment