Dia mengajar mata kuliah bahasa
inggris. Sejalan dengan waktu, kini aku bisa kuliah di universitas
keinginanku. Namaku Jack, sekarang aku tinggal di Yogyakarta dengan
fasilitas yang sangat baik sekali. Kupikir aku cukup beruntung bisa
bekerja sambil kuliah sehingga aku mempunyai penghasilan tinggi.
Berawal dari reuni SMA-ku di Jakarta. Setelah itu aku bertemu
dengan dosen bahasa inggrisku, kami ngobrol dengan akrabnya. Ternyata
Ibu Shinta masih segar bugar dan amat menggairahkan. Penampilannya amat
menakjubkan, memakai rok mini yang ketat, kaos top tank sehingga lekuk
tubuhnya nampak begitu jelas. Jelas saja dia masih muda sebab sewaktu
aku SMA dulu dia adalah guru termuda yang mengajar di sekolah kami.
Sekolahku itu cuma terdiri dari dua kelas, kebanyakan siswanya adalah
wanita. Cukup lama aku ngobrol dengan Ibu Shinta, kami rupanya tidak
sadar waktu berjalan dengan cepat sehingga para undangan harus pulang.
Lalu kami pun berjalan munuju ke pintu gerbang sambil menyusuri ruang
kelas tempatku belajar waktu SMA dulu.
Tiba-tiba Ibu Shinta
teringat bahwa tasnya tertinggal di dalam kelas sehinga kami terpaksa
kembali ke kelas. Waktu itu kira-kira hampir jam dua belas malam,
tinggal kami berdua. Lampu-lampu di tengah lapangan saja yang tersisa.
Sesampainya di kelas, Ibu Shinta pun mengambil tasnya kemudian aku
teringat akan masa lalu bagaimana rasanya di kelas bersama dengan
teman-teman. Lamunanku buyar ketika Ibu Shinta memanggilku.
“Kenapa Jack”
“Ah.. tidak apa-apa”, jawabku. (sebetulnya suasana hening dan amat
merinding itu membuat hasratku bergejolak apalagi ada Ibu Shinta di
sampingku, membuat jantungku selalu berdebar-debar).
“Ayo Jack kita pulang, nanti Ibu kehabisan angkutan”, kata Ibu Shinta.
“Sebaiknya Ibu saya antar saja dengan mobil saya”, jawabku dengan ragu-ragu.
“Terima kasih Jack”.
Tanpa sengaja aku mengutarakan isi hatiku kepada Ibu Shinta bahwa aku
suka kepadanya, “Oh my God what i’m doing”, dalam hatiku. Ternyata
keadaan berkata lain, Ibu Shinta terdiam saja dan langsung keluar dari
ruang kelas. Aku panik dan berusaha minta maaf. Ibu Shinta ternyata
sudah cerai dengan suaminya yang bule itu, katanya suaminya pulang ke
negaranya. Aku tertegun dengan pernyataan Ibu Shinta. Kami berhenti
sejenak di depan kantornya lalu Ibu Shinta mengeluarkan kunci dan masuk
ke kantornya, kupikir untuk apa masuk ke dalam kantornya malam-malam
begini. Aku semakin penasaran lalu masuk dan bermaksud mengajaknya
pulang tapi Ibu Shinta menolak. Aku merasa tidak enak lalu menunggunya,
kurangkul pundak Ibu Shinta, dengan cepat Ibu Shinta hendak menolak
tetapi ada kejadian yang tak terduga, Ibu Shinta menciumku dan aku pun
membalasnya.
Ohh.., alangkah senangnya aku ini, lalu dengan
cepat aku menciumnya dengan segala kegairahanku yang terpendam. Ternyata
Ibu Shinta tak mau kalah, ia menciumku dengan hasrat yang sangat besar
mengharapkan kehangatan dari seorang pria. Dengan sengaja aku menyusuri
dadanya yang besar, Ibu Shinta terengah sehingga ciuman kami bertambah
panas kemudian terjadi pergumulan yang sangat seru. Ibu Shinta memainkan
tangannya ke arah batang kemaluanku sehingga aku sangat terangsang.
Lalu aku meminta Ibu Shinta membuka bajunya, satu persatu kancing
bajunya dibukanya dengan lembut, kutatap dengan penuh hasrat. Ternyata
dugaanku salah, dadanya yang kusangka kecil ternyata amat besar dan
indah, BH-nya berwarna hitam berenda yang modelnya amat seksi.
Karena tidak sabar maka kucium lehernya dan kini Ibu Shinta setengah
telanjang, aku tidak mau langsung menelanjanginya, sehingga
perlahan-lahan kunikmati keindahan tubuhnya. Aku pun membuka baju
sehingga badanku yang tegap dan atletis membangkitkan gairah Ibu Shinta,
“Jack kukira Ibu mau bercinta denganmu sekarang.., Jack, tutup pintunya
dulu dong”, bisiknya dengan suara agak bergetar, mungkin menahan
birahinya yang juga mulai naik
Tanpa disuruh dua kali, secepat
kilat aku segera menutup pintu depan. Tentu agar keadaan aman dan
terkendali. Setelah itu aku kembali ke Ibu Shinta. Kini aku jongkok di
depannya. Menyibak rok mininya dan merenggangkan kedua kakinya. Wuih,
betapa mulus kedua pahanya. Pangkalnya tampak menggunduk dibungkus
celana dalam warna hitam yang amat minim. Sambil mencium pahanya
tanganku menelusup di pangkal pahanya, meremas-remas liang senggamanya
dan klitorisnya yang juga besar. Lidahku makin naik ke atas. Ibu Shinta
menggelinjang kegelian sambil mendesah halus. Akhirnya jilatanku sampai
di pangkal pahanya.
“Mau apa kau sshh… sshh”, tanyanya lirih sambil memegangi kapalaku erat-erat.
“Ooo… oh.. oh..”, desis Ibu Shinta keenakan ketika lidahku mulai
bermain-main di gundukan liang kenikmatannya. Tampak dia keenakan meski
masih dibatasi celana dalam.
Serangan pun kutingkatkan. Celananya
kulepaskan. Sekarang perangkat rahasia miliknya berada di depan mataku.
Kemerahan dengan klitoris yang besar sesuai dengan dugaanku. Di
sekelilingnya ditumbuhi rambut yang tidak begitu lebat. Lidahku kemudian
bermain di bibir kemaluannya. Pelan-pelan mulai masuk ke dalam dengan
gerakan-gerakan melingkar yang membuat Ibu Shinta makin keenakan, sampai
harus mengangkat-angkat pinggulnya. “Aahh… Kau pintar sekali. Belajar
dari mana hh…”
Tanpa sungkan-sungkan Ibu Shinta mencium bibirku.
Lalu tangannya menyentuh celanaku yang menonjol akibat batang kemaluanku
yang ereksi maksimal, meremas-remasnya beberapa saat. Betapa lembut
ciumannya, meski masih polos. Aku segera menjulurkan lidahku, memainkan
di rongga mulutnya. Lidahnya kubelit sampai dia seperti hendak
tersendak. Semula Ibu Shinta seperti akan memberontak dan melepaskan
diri, tapi tak kubiarkan. Mulutku seperti melekat di mulutnya. “Uh kamu
pengalaman sekali ya. Sama siapa? Pacarmu?”, tanyanya diantara kecipak
ciuman yang membara dan mulai liar. Aku tak menjawab. Tanganku mulai
mempermainkan kedua payudaranya yang tampak menggairahkan itu. Biar
tidak merepotkanku, BH-nya kulepas. Kini dia telanjang dada. Tak puas,
segera kupelorotkan rok mininya. Nah kini dia telanjang bulat. Betapa
bagus tubuhnya. Padat, kencang dan putih mulus.
“Nggak adil.
Kamu juga harus telanjang..” Ibu Shinta pun melucuti kaos, celanaku, dan
terakhir celana dalamku. Batang kemaluanku yang tegak penuh segera
diremas-remasnya. Tanpa dikomando kami rebah di atas ranjang,
berguling-guling, saling menindih. Aku menunduk ke selangkangannya,
mencari pangkal kenikmatan miliknya. Tanpa ampun lagi mulut dan lidahku
menyerang daerah itu dengan liar. Ibu Shinta mulai mengeluarkan
jeritan-jeritan tertahan menahan nikmat. Hampir lima menit kami
menikmati permainan itu. Selanjutnya aku merangkak naik. Menyorongkan
batang kemaluanku ke mulutnya.
“Gantian dong..” Tanpa menunggu
jawabannya segera kumasukkan batang kemaluanku ke mulutnya yang mungil.
Semula agak kesulitan, tetapi lama-lama dia bisa menyesuaikan diri
sehingga tak lama batang kemaluanku masuk ke rongga mulutnya. “Justru di
situ nikmatnya.., Selama ini sama suami main seksnya gimana?”, tanyaku
sambil menciumi payudaranya. Ibu Shinta tak menjawab. Dia malah mencium
bibirku dengan penuh gairah. Tanganku pun secara bergantian memainkan
kedua payudaranya yang kenyal dan selangkangannya yang mulai basah. Aku
tahu, perempuan itu sudah kepengin disetubuhi. Namun aku sengaja
membiarkan dia menjadi penasaran sendiri.
Tetapi lama-lama aku
tidak tahan juga, batang kemaluanku pun sudah ingin segera menggenjot
liang kenikmatannya. Pelan-pelan aku mengarahkan barangku yang kaku dan
keras itu ke arah selangkangannya. Ketika mulai menembus liang
kenikmatannya, kurasakan tubuh Ibu Shinta agak gemetar. “Ohh…”, desahnya
ketika sedikit demi sedikit batang kemaluanku masuk ke liang
kenikmatannya. Setelah seluruh barangku masuk, aku segera bergoyang naik
turun di atas tubuhnya. Aku makin terangsang oleh jeritan-jeritan
kecil, lenguhan serta kedua payudaranya yang ikut bergoyang-goyang.
Tiga menit setelah kugenjot, Ibu Shinta menjepitkan kedua kakinya ke
pinggangku. Pinggulnya dinaikkan. Tampaknya dia akan orgasme. Genjotan
batang kemaluanku kutingkatkan. “Ooo… ahh… hmm… ssshh…”, desahnya dengan
tubuh menggelinjang menahan kenikmatan puncak yang diperolehnya.
Kubiarkan dia menikmati orgasmenya beberapa saat. Kuciumi pipi, dahi,
dan seluruh wajahnya yang berkeringat. “Sekarang Ibu Shinta berbalik.
Menungging di atas meja.., sekarang kita main dong di atas meja ok!” Aku
mengatur badannya dan Ibu Shinta menurut. Dia kini bertumpu pada siku
dan kakinya. “Gaya apa lagi ini?”, tanyanya.
Setelah siap aku
pun mulai menggenjot dan menggoyang tubuhnya dari belakang. Ibu Shinta
kembali menjerit dan mendesah merasakan kenikmatan yang tiada taranya,
yang mungkin selama ini belum pernah dia dapatkan dari suaminya. Setelah
dia orgasme sampai dua kali, kami istirahat.
“Capek?”, tanyaku. “Kamu ini aneh-aneh saja. Sampai mau remuk tulang-tulangku”.
“Tapi kan nikmat Bu..”, jawabku sambil kembali meremas payudaranya yang menggemaskan.
“Ya deh kalau capek. Tapi tolong sekali lagi, aku pengin masuk agar
spermaku keluar. Nih sudah nggak tahan lagi batang kemaluanku. Sekarang
Ibu Shinta yang di atas”, kataku sambil mengatur posisinya.
Aku
terletang dan dia menduduki pinggangku. Tangannya kubimbing agar
memegang batang kemaluanku masuk ke selangkangannya. Setelah masuk
tubuhnya kunaik-turunkan seirama genjotanku dari bawah. Ibu Shinta
tersentak-sentak mengikuti irama goyanganku yang makin lama kian cepat.
Payudaranya yang ikut bergoyang-goyang menambah gairah nafsuku. Apalagi
diiringi dengan lenguhan dan jeritannya saat menjelang orgasme. Ketika
dia mencapai orgasme aku belum apa-apa. Posisinya segera kuubah ke gaya
konvensional. Ibu Shinta kurebahkan dan aku menembaknya dari atas.
Mendekati klimaks aku meningkatkan frekuensi dan kecepatan genjotan
batang kemaluanku. “Oh Ibu Shinta.., aku mau keluar nih ahh..” Tak lama
kemudian spermaku muncrat di dalam liang kenikmatannya. Ibu Shinta
kemudian menyusul mencapai klimaks. Kami berpelukan erat. Kurasakan
liang kenikmatannya begitu hangat menjepit batang kemaluanku. Lima menit
lebih kami dalam posisi rileks seperti itu.
Kami berpelukan,
berciuman, dan saling meremas lagi. Seperti tak puas-puas merasakan
kenikmatan beruntun yang baru saja kami rasakan. Setelah itu kami bangun
di pagi hari, kami pergi mencari sarapan dan bercakap-cakap kembali.
Ibu Shinta harus pergi mengajar hari itu dan sorenya baru bisa kujemput.
Sore telah tiba, Ibu Shinta kujemput dengan mobilku. Kita makan di mall
dan kami pun beranjak pulang menuju tempat parkir. Di tempat parkir
itulah kami beraksi kembali, aku mulai menciumi lehernya. Ibu Shinta
mendongakkan kepala sambil memejamkan mata, dan tanganku pun mulai
meremas kedua buah dadanya. Nafas Ibu Shinta makin terengah, dan
tanganku pun masuk di antara kedua pahanya. Celana dalamnya sudah basah,
dan jariku mengelus belahan yang membayang. “Uuuhh.., mmmhh..”, Ibu
Shinta menggelinjang, tapi gairahku sudah sampai ke ubun-ubun dan aku
pun membuka dengan paksa baju dan rok mininya.
Aaahh..! Ibu
Shinta dengan posisi yang menantang di jok belakang dengan memakai BH
merah dan CD merah. Aku segera mencium puting susunya yang besar dan
masih terbungkus dengan BH-nya yang seksi, berganti-ganti kiri dan
kanan. Tangan Ibu Shinta mengelus bagian belakang kepalaku dan
erangannya yang tersendat membuatku makin tidak sabar. Aku menarik lepas
celana dalamnya, dan nampaklah bukit kemaluannya. Akupun segera
membenamkan kepalaku ke tengah ke dua pahanya. “Ehhh…, mmmhh..”. Tangan
Ibu Shinta meremas jok mobilku dan pinggulnya bergetar ketika bibir
kemaluannya kucumbui. Sesekali lidahku berpindah ke perutnya dan
menjilatinya dengan perlahan.
“Ooohh.., aduuuhh..”. Ibu Shinta
mengangkat punggungnya ketika lidahku menyelinap di antara belahan
kemaluannya yang masih begitu rapat. Lidahku bergerak dari atas ke bawah
dan bibir kemaluannya mulai membuka. Sesekali lidahku membelai
klitorisnya yang membuat tubuh Ibu Shinta terlonjak dan nafas Ibu Shinta
seakan tersendak. Tanganku naik ke dadanya dan meremas kedua bukit
dadanya. Putingnya membesar dan mengeras. Ketika aku berhenti menjilat
dan mengulum, Ibu Shinta tergeletak terengah-engah, matanya terpejam.
Tergesa aku membuka semua pakaianku, dan kemaluanku yang tegak teracung
ke langit-langit, kubelai-belaikan di pipi Ibu Shinta. “Mmmhh…, mmmhh..,
ooohhm..”. Ketika Ibu Shinta membuka bibirnya, kujejalkan kepala
kemaluanku, kini iapun mulai menyedot. Tanganku bergantian meremas
dadanya dan membelai kemaluannya. “Oouuuh Ibu Shinta.., enaaaak..,
teruuuss…”, erangku.
Ibu Shinta terus mengisap batang
kemaluanku sambil tangannya mengusap liang kenikmatannya yang juga telah
banjir karena terangsang menyaksikan batang kemaluanku yang begitu
besar dan perkasa baginya. Hampir 20 menit dia menghisap batang
kemaluanku dan tak lama terasa sekali sesuatu di dalamnya ingin meloncat
ke luar. “Ibu Shinta.., ooohh.., enaaak.., teruuus”, teriakku. Dia
mengerti kalau aku mau keluar, maka dia memperkuat hisapannya dan sambil
menekan liang kenikmatannya, aku lihat dia mengejang dan matanya
terpejam, lalu.., “Creet.., suuurr.., ssuuur..”
“Oughh.., Jack..,
nikmat..”, erangnya tertahan karena mulutnya tersumpal oleh batang
kemaluanku. Dan karena hisapannya terlalu kuat akhirnya aku juga tidak
kuat menahan ledakan dan sambil kutahan kepalanya, kusemburkan maniku ke
dalam mulutnya, “Crooot.., croott.., crooot..”, banyak sekali maniku
yang tumpah di dalam mulutnya.
“Aaahkk.., ooough”, ujarku puas.
Aku masih belum merasa lemas dan masih mampu lagi, akupun naik ke atas
tubuh Ibu Shinta dan bibirku melumat bibirnya. Aroma kemaluanku ada di
mulut Ibu Shinta dan aroma kemaluan Ibu Shinta di mulutku, bertukar saat
lidah kami saling membelit. Dengan tangan, kugesek-gesekkan kepala
kemaluanku ke celah di selangkangan Ibu Shinta, dan sebentar kemudian
kurasakan tangan Ibu Shinta menekan pantatku dari belakang. “Ohm,
masuk.., augh.., masukin”
Perlahan kemaluanku mulai menyeruak masuk
ke liang kemaluannya dan Ibu Shinta semakin mendesah-desah. Segera saja
kepala kemaluanku terasa tertahan oleh sesuatu yang kenyal. Dengan satu
hentakan, tembuslah halangan itu. Ibu Shinta memekik kecil. Aku menekan
lebih dalam lagi dan mulutnya mulai menceracau, “Aduhhh.., ssshh..,
iya.., terus.., mmmhh.., aduhhh.., enak.., Jack”
Aku merangkulkan
kedua lenganku ke punggung Ibu Shinta, lalu membalikkan kedua tubuh kami
sehingga Ibu Shinta sekarang duduk di atas pinggulku. Nampak kemaluanku
menancap hingga pangkal di kemaluannya. Tanpa perlu diajari, Ibu Shinta
segera menggerakkan pinggulnya, sementara jari-jariku bergantian
meremas dan menggosok payudaranya, klitoris dan pinggulnya, dan kamipun
berlomba mencapai puncak.
Lewat beberapa waktu, gerakan pinggul
Ibu Shinta makin menggila dan iapun membungkukkan tubuhnya dengan bibir
kami saling melumat. Tangannya menjambak rambutku, dan akhirnya
pinggulnya berhenti menyentak. Terasa cairan hangat membalur seluruh
batang kemaluanku. Setelah tubuh Ibu Shinta melemas, aku mendorongnya
hingga telentang, dan sambil menindihnya, aku mengejar puncak orgasmeku
sendiri. Ketika aku mencapai klimaks, Ibu Shinta tentu merasakan siraman
air maniku di liang kenikmatannya, dan iapun mengeluh lemas dan
merasakan orgasmenya yang kedua. Sekian lama kami diam terengah-engah,
dan tubuh kami yang basah kuyup dengan keringat masih saling bergerak
bergesekan, merasakan sisa-sisa kenikmatan orgasme.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment